Jumat, 22 April 2011

BUDAYA ORGANISASI DALAM BIROKRASI


Oleh HARDIYANTO
(anggota steering committee IRB)


Tragedi Clifft Muntu adalah peristiwa yang menyangkut budaya  organisasi, yaitu “hambatan manusia terhadap perubahan (human resistant to change)”. Saya yakin, setelah peristiwa yang sama menimpa Wahyu Hidayat pada tahun 2003, pemerintah telah berupaya untuk merombak system lama, dan mengembangkan system baru yang bukan  tidak mungkin bermaksud menanamkan  budaya  organisasi baru berupa nilai-nilai dan  perilaku yang lebih sesuai dengan tuntutan mekanisme birokasi baru yang lebih demokratis. Namun, transformasi dari budaya lama yang merupakan kristalisasi dari system yang telah lama dikembangkan ke budaya baru, tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena proses pelaksanaan dan penanganan perubahan, memerlukan tahapan yang sistemik dan waktu  yang tidak sebentar.

Pro dan kontra terhadap budaya baru  yang dikembangkan sangatlah wajar. Walaupun berusaha untuk menyesuaikan, sangat mungkin sebahagian dari anggota organisasi merasa bahwa nilai-nilai lama tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Hal tersebut normal dan sangat manusiawi sifatnya. Akan tetapi apabila ada rasa nostalgia tentang budaya lama dari sebagian anggota organisasi, sesungguhnya hal tersebut merupakan sinyal ketidak setujuan terhadap budaya organisasi yang sedang dikembangkan. Apabila diantara mereka saling bertemu dan  membicarakan tentang kelebihan-kelebihan nilai budaya lama, maka “Underground Culture” sedang berkembang ! Selanjutnya sub budaya tersembunyi terus berkembang, dan kelompok-kelompok tertentu merasa nyaman terhadap penyimpangan tersebut. Akibatnya akan tumbuh budaya “gado-gado” yang menyebabkan situasi kusut masai dalam  organisasi.

Dalam masa transisi transformasi budaya, dituntut pimpinan organisasi yang mampu “menyetel” keseimbangan (equilibrium) antar komponen,  dapat mengidentifikasi lubang-lubang kelemahan dari budaya yang sedang dikembangkan, mampu menyerap aspirasi dan ekses yang berkembang, serta mampu mengadakan penyesuaian  terhadap perkembangan lingkungan strategis,  sehingga budaya baru terserap dengan mulus tanpa menimbulkan goncangan-goncangan yang dapat mengganggu pencapaian misi organisasi.

Seorang akhli mengumpamakan bahwa untuk mengukur tinggi rendahnya tingkat budaya organisasi adalah seperti pengukuran  iklim dalam konsep meteorologi, dimana untuk mengetahui cuaca harus dapat diidentifikasi beberapa variabel antara lain temperatur, tingkat kelembaban, curah hujan dan lain-lain. Begitu  pula budaya organisasi, dapat dilihat dari iklim kerja antara lain motivasi kerja, komunikasi yang termasuk didalamnya rasa kebersamaan, kepemimpinan para manajer, pemahaman terhadap visi dan misi organisasi.

Indikator budaya suatu organisasi kuat apabila : pertama, setiap anggota organisasi menghormati hak dan martabat anggota organisasi sebagai individu dan posisi profesional anggota lainnya; kedua, nilai-nilai dan kebiasaan yang hidup dalam organisasi memotivasi anggota organisasi bekerja dengan ikhlas dan merasa nyaman dalam melaksanakan pekerjaannya; perbedaan pendapat dapat dikelola dengan baik, sehingga merupakan dinamika yang mendorong nilai tambah bagi organisasi; ketiga,  anggota organisasi “menari dengan penuh improvisasi dengan irama gendang yang sama”; keempat, rasa nyaman dari mitra kerja dan masyarakat yang dilayani oleh organisasi yang bersangkutan; kelima, terjadinya keselarasan antara budaya organisasi dengan struktur, Visi dan Misi organisasi.

Dalam organisasi besar seperti halnya pada birokrasi pemerintahan, betapapun demokratisnya,  posisi organisasi pemerintah terhadap masyarakat  yang dilayani cenderung bersifat “vertical topdown”. Konsep budaya apapun terlalu sulit mengakomodasikan semua aspek yang timbul dalam organisasi dan tingkat kepedulian pelayanan kepada masyarakat. Dengan didukung oleh otoritas legal yang dipunyainya, birokrasi mempunyai posisi tawar yang kuat terhadap  masyarakat yang dilayani. Dalam posisi seperti ini,  “seringkali terjadi” pimpinan birokrasi merasa bahwa mereka dapat melakukan segalanya dan paling mampu dalam menjalankan kebijakan dan pelayanan publik yang menjadi tugas tanggung jawabnya. Puncak dari budaya seperti ini adalah berkembangnya arogansi, selanjutnya akan merebak pada seluruh anggota organisasi dan mengkristal menjadi budaya yang solid, susah berubah dan tidak peka terhadap lingkungan strategis. Hal ini menjadikan organisasi tidak pernah berubah, lama-kelamaan  budaya menjadi  “usang” serta sulit mengakomodasikan tuntutan pelayanan masyarakat yang terus berkembang dan meningkat.

Budaya organisasi mekanistik seperti digambarkan di atas, oleh Trompenars & Prud’Home disebut budaya “Eifel Tower”, dimana mekanisme kerja organisasi cenderung pada pengutamaan hierakhi struktural, stabilitas, dan prosedur yang bersifat birokratik sentralistik. Dalam kondisi seperti ini, pola kepemimpinan cenderung  bersifat “Star Diagram”, dimana  kinerja organisasi seolah-olah melekat pada citra individu pemimpin. Jika budaya paternalistik mewarnai perilaku pemimpin, tanpa didukung oleh manajemen sumberdaya manusia yang handal, maka hal yang harus mendapat perhatian adalah apabila  pimpinan organisasi tidak dapat mengendalikan diri dengan menetapkan pimpinan dibawahnya cenderung bersifat “spoil” (misalnya berbasis primordial politik, primordial keluarga, kesamaan almamater). Tanpa pertimbangan kompetensi,  bisa terjadi pimpinan mempromosikan atau menempatkan seseorang pimpinan bawahannya yang tidak mempunyai talenta sebagai leader, disamping itu sering terjadi potential leader tidak diberi kesempatan menjadi pimpinan senior. Selanjutnya, keparahan akan terjadi apabila para pimpinan kurang memperhatikan potensi dan kinerja pegawai, yang berakibat pada pembunuhan kreatifitas. Hal seperti ini dapat menyebabkan penolakan latent yang memudahan berkembangnya “underground culture” yang dapat mempengaruhi kinerja organisasi.

Salah satu agenda penting dalam rangka reformasi birokrasi di Indonesia adalah perlunya pemerkuatan budaya organisasi. Beberapa alasan perlunya pemerkuatan budaya  seiring dengan penyesuaian misi dan struktur organisasi, untuk mengakomodasikan implementasi good governance serta kepentingan mendesak guna merealisasikan komitmen global Millinium Development Goals. Selain itu masih tersisa pekerjaan rumah penyesuaian budaya karena adanya perubahan misi dan peran baru yang terjadi pada instansi-pusat dan daerah, sebagai akibat pemisahan, penggabungan organisasi Departemen/LPND beberapa waktu yang lalu; perubahan peran instansi pusat sebagai dampak dari kebijakan otonomi daerah yang semula berperan  sebagai perumus kebijakan disamping peran pelaksanaan, kemudian wewenang pelaksanaan dialihkan menjadi kewenangan pemerintah daerah; Juga penggabungan instansi vertikal pemerintah pusat di daerah, menjadi bagian dari organisasi pemerintah daerah. Struktur organisasi telah ditetapkan, relokasi pegawai telah dilakukan, namun masih menyisakan masalah budaya organisasi, dimana budaya lama masih belum tersesuaikan dan budaya baru belum melembaga, sehingga interaksi dan interrelasi antara struktur dan kultur relatif “belum pas”. Banyak masalah pada akar rumput tidak tampak dari atas, yang apabila tidak ditangani akan menyebabkan masalah berkepanjangan, hal tersebut sering kali membawa akibat “tidak nyambungnya” antara kebijakan diatas dengan pelaksanaan kegiatan operasional dibawah, seperti diungkapkan oleh pak Dahlan Iskan “ Ferari diatas, bemo dibawah.” Disadari bahwa masalah ini sangat rumit, dan memerlukan waktu penyesuaian yang cukup panjang, akan tetapi instansi-instansi yang bersangkutan harus peduli, serta mempunyai program komprehensif dengan tatakala yang jelas.

Hal yang penting dalam proses perubahan budaya organisasi adalah, bahwa pimpinan harus dapat mengidentifikasi perubahan mana yang kiranya akseptabel, karena apabila terjadi situasi  dimana perubahan organisasi merupakan satu-satunya jalan, akan mengakibatkan “culture shock” yang membawa dampak ketidak nyamanan bagi sebahagian anggota organisasi . Pola penanganan perubahan budaya bersifat situasional, disesuaikan dengan iklim organisasi, dan tidak dapat diseragamkan.  Dalam budaya dimana perubahan merupakan “way of life”, konflik dalam perubahan budaya secara terbuka mudah ditangani. Dalam budaya yang stabil dan mengakar, perubahan harus ditangani secara evolusioner, terencana dan bertahap. Dalam budaya egalitarian, semua orang menghendaki ikut dalam proses dan dapat mengemukakan pendapatnya.  Dalam budaya hierarhi, proses perubahan dari atas akan lebih efektif.

Di bawah ini  disampaikan beberapa hal yang dapat dipertimbangkan sebagai referensi dalam penanganan perubahan budaya organisasi, antara lain : pertama, mengetahui darimana kita mulai, mempelajari budaya yang berjalan beserta  kekuatan dan kelemahannya; kedua, gunakan konsep rekonsiliasi budaya organisasi yaitu “kontinu melalui pembaharuan secara bertahap”; ketiga, libatkan semua orang dalam proses, diskusikan dilemma sesungguhnya yang terjadi, termasuk tantangan dan hambatannya; keempat,  komunikasi berlebihan lebih baik daripada  komunikasi yang kurang terbuka; kelima, yakinkan bahwa tingkat pimpinan konsisten antara kata dengan perbuatan dan terlibat langsung dalam penanganan perubahan.

“Perubahan budaya organisasi akan bermakna, apabila nilai-nilai baru yang dikembangkan tetap memperhatikan nilai-nilai  yang telah ada”.

____________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.