Jumat, 22 April 2011

Konsep Dasar Budaya Organisasi

Dewasa ini peranan budaya organisasi menjadi kian penting disadari oleh para praktisi strategic management mengingat budaya organisasi merupakan salah satu strategi dinamis organisasi dalam konsep pengendalian manajemen.
Pengendalian manajemen perusahaan mencakup empat hal, yaitu :
• Budaya Organisasi
• Struktur Organisasi
• Management Control System
• HR Management

Konsep Dasar Budaya Organisasi
Hodge, Anthony dan Gales mendefinisikan budaya adalah konstruksi yang mencakup karakteristik organisasi yang tampak dan tidak tampak. Budaya yang tampak meliputi aspek organisasi seperti arsitektur, pakaian, pola perilaku, peraturan, legenda, mitos, bahasa dan seremonial. Sedangkan yang tidak tampak mencakup share value, norma-norma, keyakinan dan asumsi-asumsi anggota organisasi. 

Mereka menyimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan pola karakteristik organisasi yang mengarahkan anggota organisasi untuk mengelola masalah dan keadaan sekitarnya. Budaya organisasi dianggap sebagai alat untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dilakukan, mengarahkan bagaimana mengalokasikan sumber dayanya, mengelola sumber daya organisasi dan SDM, dan sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan (Petrock, 1990). 

Miller menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan kumpulan nilai yang dianut dalam perusahaan dan mendasari bagaimana mengelola dan mengorganisasi perusahaan tersebut.
Pada umumnya budaya dibangun atau diciptakan oleh pendiri atau lapisan pimpinan atas yang mendirikan atau merintis perusahaan. Falsafah atau strategi yang ditetapkan oleh mereka lalu menjadi petunjuk dan pedoman bawahan mereka dalam melaksanakan tugas. Bila implementasi strategi ini ternyata berhasil dan dapat bertahan bertahun-tahun, maka filosofi atau visi yang diyakini tersebut akan berkembang menjadi budaya organisasi. Jika budaya organisasi tersebut dibakukan maka dalam implementasinya harus berfungsi sebagai alat ukur dari setiap kegiatan organisasi.

Karakteristik Budaya Organisasi
Miller menyatakan bahwa ada delapan karakteristik dari budaya organisasi, yaitu:
1. Asas Tujuan, adalah seberapa besar anggotanya memahami tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi.
2. Asas Konsensus, yaitu seberapa besar organisasi memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk turut serta dalam proses mengambil keputusan.
3. Asas Keunggulan, adalah kemampuan perusahaan menumbuhkan sikap untuk selalu menjadi yang terbaik dan berprestasi yang lebih baik dari yang sudah pernah dicapai sebelumnya
4. Asas Kesatuan, yaitu suatu sikap terhadap keadilan dan pemihakan terhadap anggota organisasi dan kelokmpok yang ada dalam organisasi tersebut.
5. Asas Prestasi, yaitu sikap organisasi terhadap prestasi yang dicapai oleh anggotanya.
6. Asas Empirik adalah sejauh mana organisasi mau menggunakan bukti-bukti empirik dalam mengambil keputusan
7. Asas Keakraban adalah kondisi pergaulan social antar karyawan dalam organisasi.
8. Asas Integritas yaitu sejauh mana organisasi mau bekerja dengan sungguh-sungguh dalam mencapai tujuan organisasi.

Menurut Robbins (1989) mengemukakan bahwa ada 10 faktor yang merupakan dasar atau karakteristik dari budaya organisasi. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Individual initiative, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan, kemandirian dan kesempatan yang dimiliki individu untuk menggunakan inisiatifnya dalam perusahaan.
2. Risk tolerance, yaitu seberapa jauh tingkat resiko yang boleh atau mungkin diambil oleh anggota dalam perusahaan.
3. Direction, adalah seberapa jauh perusahaan memberikan penjelasan tentang tujuan yang ingin dicapai dan kinerja yang diharapkan.
4. Integration, adalah sejauh mana unit-unit kerja dalam perusahaan didorong untuk bekerja dalam suatu sistem yang terkoordinasi.
5. Management Support, yaitu sejauh mana manajer-manajer dalam perusahaan memberikan pengarahan, dukungan dan berkomunikasi dengan bawahannya.
6. Control, yaitu sejumlah aturan, kebijaksanaan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengontrol perilaku karyawan.
7. Identity, yaitu sejauh mana anggota mengindentifikasikan diri pada perusahaan.
8. Reward system, yaitu bagaimana tingkat penghargaan yang diberikan perusahaan kepada karyawan.
9. Conflict tolerance, yaitu tingkat toleransi terhadap konflik yang muncul dalam perusahaan.
10. Communication pattern, yaitu sejauh mana komunikasi dalam perusahaan dibatasi berdasarkan susunan wewenang secara formal.

Schein menyatakan bahwa budaya organisasi memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
1. Tingkat artifacts, yaitu anggota organisasi yang memasuki organisasi telah memiliki proses dan struktur yang visible seperti melihat, mendengar dan merasakan.
2. Tingkat expaused value, yaitu anggota baru mulai belajar dan perlu tuntunan dari pimpinan organisasi mengenai strategi, tujuan, dan filosofi yang dianut oleh organisasi barunya. Budaya organisasi dapat ditelusuri kembali dari symbol-simbol, sejarah, jargon, seremoni, dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh pendirinya.
3. Tingkat basic underlying assumption, yaitu tahapan dimana anggota organisasi merasa yakin bahwa mereka diterima untuk melakukan sesuatu dengan benar secara tepat, Asumsi tersebut berpengaruh terhadap perasaan, pemikiran, persepsi, kepercayaan, dan pikiran bawah sadar para anggota organisasi.

Fungsi Budaya Organisasi
Menurut Smircich (1983), budaya organisasi sebagai nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama memberikan beberapa fungsi penting. Pertama, membawa suatu perasaan identitas sebagai anggota organisasi. Kedua, sebagai sarana untuk membangun komitmen akan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Ketiga, meningkatkan stabilitas sistem social. Keempat, budaya organisasi merupakan sense making device yang dapat memberikan pedoman dan mempertajam perilaku. Robin (2001) menyatakan bahwa fungsi budaya organisasi adalah sebagai pembeda organisasi dengan organisasi lainnya, sebagai tujuan bersama, alat stabilitas social perusahaan, meningkatkan identitas anggota perusahaan dan memberikan pengertian dan mekanisme kontrol terhadap sikap dan perilaku. Susanto (1997) menjelaskan bahwa budaya bermanfaat bagi sumber daya manusia untuk memberikan arah atau pedoman berperilaku di dalam perusahaan, menyamakan langkah dan tindakan dan visi di dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta mendorong untuk mencapai kinerja yang lebih baik.

Manfaat bagi perusahaan adalah salah satu alat untuk menekan tingkat turn over karyawan, pedoman kebijakan, ciri khas perusahaan, acuan penyusunan rencana kerja, penyusunan program pengembangan usaha dan pengembangan sumber daya manusia. Dalam konteks ini, peran budaya organisasi adalah memberikan core organization value bagi suatu perusahaan. Martin (1992) menyatakan bahwa core organization value tercermin dari nilai-nilai fundamental seperti :
(1) sensitifitas terhadap kebutuhan para customer dan tenaga kerjanya,
(2) kebebasan karyawan untuk memberikan ide-ide baru,
(3) kemauan untuk menerima resiko-resiko, dan
(4) keterbukaan untuk dapat melakukan komunikasi secara bebas dan bertanggung jawab.

Budaya organisasi juga berperan penting untuk :
(1) memberikan suatu sense of identity bagi para anggota organisasi dalam memahami misi dan visi serta menjadi bagian integral dari organisasi,
(2) menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi organisasi,
(3) memberikan arah dan memperkuat standar perilaku guna pengendalian pelaku organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama (Noe dan Mondy, 1996).

Kotter dan Heskett (1992) pernah melakukan studi terhadap 200 perusahaan di Amerika Serikat dan hasil studi tersebut menyimpulkan setidaknya ada 4 peran penting budaya organisasi yaitu:
(1) dapat memiliki dampak yang signifikan pada kinerja ekonomi perusahaan,
(2) menjadi faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses atau gagalnya perusahaan dalam decade selanjutnya,
(3) budaya organisasi dapat mendorong peningkatan kinerja ekonomi dalam jangka panjang, dapat berkembang secara mudah jika dalam perusahaan penuh dengan orang-orang yang layak dan cerdas,
(4) budaya organisasi dapat dibuat untuk peningkatan budaya organisasi.

Pengukuran Budaya Organisasi
Melakukan pengukuran budaya organisasi adalah melakukan monitor budaya yang ada di dalam organisasi, untuk dinilai kesesuaiannya dari budaya yang ada dengan budaya yang dimaksudkan yang mencakup visi, misi, strategi dan orang, dan juga untuk melihat pengaruh budaya organisasi yang ada pada kinerja organisasi.
Untuk melakukan pengukuran budaya organisasi dapat digunakan beberapa alat ukur seperti OCP (Organizational Culture Profile), OCAI (Organizational Culture Assessment Instrument) dan OCI (Organizational Culture Inventory) dimana dengan metode ini mengukur nilai yang dimainkan / dibuat (enacted values) terhadap nilai yang didukung (espoused values) serta CAT (Culture Assessment Tools) yang menggunakan pendekatan seperti ROI, ROA, Customer Satisfaction, Sales Growth dan dasar pengukuran kinerja bisnis yang lain. 

Berbeda dengan alat ukur yang sudah disebutkan sebelumnya, Denilson (1995) mengembangkan alat ukur yang disebut DOCS (Denison Organizational Culture Survey). DOCS mengukur keberadaan dari empat karakteristik budaya organisasi, yaitu involvement, consistency, adaptability dan mission. Versi asli DOCS akan menghitung empat karakteristik budaya organisasi dan membandingkan hasilnya dengan database budaya organisasi dari 500 organisasi yang dimiliki Denison Consulting untuk melihat posisi organisasi dalam industri sejenis yang berkaitan dengan kriteria keefektifannya. Metode lain yang dapat diterapkan untuk mengukur budaya organisasi adalah menggunakan data sekunder yang informasinya dapat diperoleh dari studi literature, artikel, jurnal, majalah, dan press release lain yang biasanya digunakan. Data sekunder ini dapat kita gunakan sebagai pendukung dari data primer yang kita dapatkan. Dengan melakukan pengukuran budaya organisasi, maka manager dapat mempunyai pandangan yang jelas tentang mereka sendiri, tentang apa yang terjadi di sekitar mereka dan bagaimana budaya organisasi dipersepsikan oleh anggota-anggotanya.

Mengembangkan Budaya Organisasi
Setiap organisasi mengharapkan bahwa budaya yang dihendaki adalah budaya yang kuat (strong culture), dimana menurut Robbins yang dimaksudkan adalah :
“The organization core value being both intensely held and widely shared, the more members that accept the core values and the greater their commitment to those value”.
Dari penjelasan diatas, kita dapat simpulkan bahwa yang menentukan kuat lemahnya budaya organisasi adalah :
Faktor penyebaran (sharedness), yang menunjukkan tingkat seberapa besar karyawan mempunyai nilai-nilai inti yang menjadi sama

Faktor intensitas (intensity), yaitu tingkat komitmen karyawan terhadap nilai inti yang sama tersebut. Ditambahkan oleh O’Reilly (2000) bahwa dimensi yang menentukan kuat dan lemahnya budaya organisasi adalah intensitas budaya yang dinyatakan dengan tingkat persetujuan atas suatu harapan, dan kristalisasi atau tingkat consensus atau konsistensi atas kebersamaan norma. Sathe (1983) mengatakan bahwa kekuatan budaya organisasi dapat ditandai dengan adanya homogenitas dan stabilitas dari anggotanya ketika mereka berada dalam suatu pengalaman bersama yang panjang dan intens.

Tujuan manajemen budaya organisasi adalah menciptakan dan memelihara budaya yang kuat. Harus disadari bahwa kristalisasi budaya organisasi bukanlah suatu hal yang mudah untuk diperoleh. Didalam organisasi terdapat berbagai sistem nilai yang berbeda dan saling bersaing, yang menciptakan adanya suatu budaya yang beragam dan bukannya keseragaman budaya.

O’Reilley (1989) merekomendasikan empat mekanisme yang dapat digunakan untuk mengembangkan budaya yang kuat. Keempat mekanisme tersebut adalah :
1. Partisipasi serta tindakan yang jelas dan nyata dari manajemen di dalam mendukung nilai-nilai yang diinginkan, seperti mengintegrasikan sejarah perusahaan.
2. Menceritakan dan menggunakan bahasa yang meyakinkan, simbol-simbol dan upacara yang memadai.
3. Pesan yang jelas dari manajemen.
4. Imbalan yang tidak sekedar bersifat moneter, namun juga adanya penghargaan dan dukungan.

Noe dan Wayne (1996) menyatakan bahwa keefektifan budaya organisasi dipengaruhi oleh :
1. Faktor lingkungan internal, yaitu misi, visi, rules, dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh founders, komitmen dan tindakan nyata dari pimpinan, moral dan etika dan kekerabatan kelompok.
2. Faktor lingkungan ekesternal, yaitu kecenderungan perubahan ekonomi global, tuntutan hukum dan politik, social, teknologi, transformasi teknologi dan informasi serta lingkungan.

Mengelola budaya organisasi selalu berkaitan dengan mengelola perubahan (change management) terutama lagi bila hasil pengukuran budaya organisasi menunjukkan bahwa enacted values tidak sesuai dengan espoused culture. Dalam buku ini selanjutnya konsep managemen perubahan akan dibicarakan dalam bab tersendiri.

Chatman dan Cha (2003) mengusulkan bahwa ada tiga alat manajerial yang dapat digunakan untuk mempengaruhi budaya terhadap performance, yaitu :
• Rekrutmen dan seleksi orang sesuai culture fit.
• Mengelola budaya melalui intensif sosialisasi dan training.
• Mengelola budaya melalui reward system.

Peranan Budaya Organisasi terhadap Strategi Organisasi
Penelitian yang dilakukan oleh Kotter dan Hesket (1992) menjelaskan bahwa budaya organisasi yang kuat dapat berkorelasi positif terhadap peningkatan kinerja atau keunggulan organisasi dalam kurun waktu yang panjang. Dalam teorinya strong culture disebutkan bahwa budaya organisasi yang kuat akan meningkatkan kinerja organisasi dalam tiga hal, yaitu :
• Budaya organisasi yang kuat akan menyebabkan terjadinya penyesuaian antar kelompok atau karyawan dalam perusahaan.
• Budaya organisasi yang kuat akan berpengaruh terhadap kinerja bisnis.
• Budaya organisasi yang kuat akan menciptakan kontrol dan struktur bagi perusahaan bagi organisasi berdasarkan nilai-nilai yang diyakini bersama dan norma-norma yang hidup di organisasi sehingga organisasi tidak perlu lagi menyandarkan diri pada birokrasi formal yang kaku.

Pada model tradisional strategi ditetapkan terlebih dahulu yang kemudian diikuti oleh penyesuaian praktik manajemen dalam operasional menjalankan aktifitas organisasi, dan hal yang sering terjadi adalah strategi tidak mampu dilaksanakan dengan baik (sesuai dengan harapan) karena tidak terjadi keselarasan dalam operasional manajemen. O’Reilly dan Pfeffer menjelaskan bahwa kemampuan strategi organisasi sangat tergantung kepada organisasi untuk menciptakan daya tarik dan memberikan keyakinan kepada anggota-anggotanya dan mampu menggunakan pengetahuan, kebijakan dan nuraninya sehingga dapat membuka nilai-nilai yang tersembunyi dari anggota-anggotanya. Ada tiga hal yang menjadi kunci penentu keberhasilan organisasi-organisasi besar dalam menerapkan budaya organisasi, yaitu :

• Organisasi memiliki nilai yang jelas tersebar luas di dalam organisasi dan dilaksanakan sebagai landasan dalam praktik-praktik manajemen untuk membangun kemampuan bersaing.
• Adanya keselarasan dan konsistensi dalam praktik dengan nilai-nilai inti.
• Adanya pimpinan yang memastikan bahwa nilai-nilai selalu terpelihara dan secara konstan menjadi nyata di dalam mengelola organisasi.

Performance Engineering Group (2002) memberikan model keselarasan di dalam organisasi dimana di dalam model ini dijelaskan bahwa apabila organisasi hanya terfokus pada sisi strategik, dan kurang kongruen antara strategik dan budaya maka organisasi akan stagnan dan akan berkembang birokratik. Sebaliknya bila perusahaan hanya fokus pada sisi budaya, maka organisasi akan menjadi tempat yang nyaman, tetapi secara cepat akan bangkrut karena tidak memiliki kemampuan untuk mencapai hasil jangka panjang. Sehingga model ini memperlihatkan bahwa perhatian organisasi harus sama dan seimbang antara sisi budaya dan sisi strategik.

_____________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.