Kamis, 21 April 2011

Multikulturalisme dalam Perumusan Kebijakan Publik

Politik tidak hanya dimengerti secara formal dan kaku, tetapi lebih lugas sebagai daya upaya anggota masyarakat untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan mereka, upaya untuk bertahan menghadapi kelompok yang lebih kuat secara ekonomi, sosial, dan ideologis, termasuk upaya mereka mempertahankan pandangan hidup berupa ekspresi budaya dan nilai-nilai atau norma-norma yang ada. Jadi politik tidak hanya berurusan dengan akumulasi dan manipulasi kekuasaan tetapi juga permasalahan distribusi sumber daya (resources) secara adil. 

Bentuk konkret dari politik adalah kebijakan publik yang pada hakikatnya merupakan bentuk pengaturan distribusi sumberdaya-sumberdaya politik, baik yang berupa kekuasaan, kesejahteraan, kesehatan, keamanan, ketertiban, dll. Dalam konsep sistem politik, kebijakan publik bahkan dimaknai sebagai bentuk konkret dari artikulasi dan agregasi berbagai kepentingan publik, baik yang berupa tuntutan maupun dukungan. Kebijakan publik berperan sebagai mekanisme otoritatif untuk mendistribusikan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, sekaligus menyelesaikan permasalahan kesenjangan sumberdaya tersebut. Peran penting inilah yang menyebabkan kebijakan publik harus lahir dari proses yang transparan dan melibatkan sebanyak mungkin pihak yang berkepentingan. 

Namun, dalam praktiknya, kebijakan publik seringkali tidak lahir dari suatu proses yang transparan dan partisipatif. Dalam banyak kasus, kebijakan publik justru lahir dari proses yang tertutup dan elitis, sehingga peluang terjadinya distorsi antara muatan kebijakan publik dengan kepentingan publik menjadi lebih besar. Distorsi ini bisa timbul manakala kepentingan mayoritas mendominasi proses pembuatan kebijakan publik, sehingga kepentingan minoritas terkalahkan. Selain itu, keterbatasan kemampuan untuk melakukan lobbying dan bargaining dalam proses kebijakan juga dapat menyebabkan kebijakan publik yang lahir justru bertentangan dengan kepentingan publik. 

Dalam konteks masyarakat yang sangat beragam, baik secara etnisitas, ideologi, religi, ras, dll., semakin sulit untuk merancang posisi yang setara di antara berbagai kelompok kepentingan karena pasti terdapat kelompok yang mayoritas dan juga terdapat kelompok yang menjadi minoritas. Kondisi ini merupakan fakta sosial yang tidak dapat dihindari. Namun, bukan berarti bahwa kondisi ini tidak dapat diubah. Di sejumlah negara, persoalan dilematis ini coba diatasi dengan menerapkan model demokrasi yang memungkinkan adanya affirmative action berupa pengakuan formal terhadap kesetaraan kelompok-kelompok masyarakat. Malaysia, Singapura, dan Thailand, misalnya, merupakan contoh negara-negara yang menerapkan model demokrasi konsosiasional di mana para anggota parlemen merupakan representasi dari kelompok-kelompok masyarakat yang ada, baik secara kultural maupun politik. Melalui model demokrasi ini, diharapkan parlemen dapat menjadi ujung tombak bagi lahirnya kebijakan-kebijakan publik yang multikulturalis.

Sejalan dengan model demokrasi konsosiasional, David Held (2000) pun mengajukan model demokrasi kosmopolitan yang diyakini mampu mengatasi kebuntuan demokrasi liberal. Model demokrasi kosmopolitan lahir sebagai respon terhadap tantangan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang semakin plural bahkan tidak lagi mengenai batas-batas teritorial suatu negara. Sistem kekuasaan dipandang seperti suatu jejaring (network) yang saling terkait antarberbagai kelompok masyarakat dan bangsa. Jejaring kekuasaan ini meliputi seluruh institusi kekuasaan, baik di level suprastruktur maupun infrastruktur, institusi ekonomi, masyarakat sipil, dll. Demokrasi ini mengakui perbedaan-perbedaan kultural yang ada sebagai suatu kesetaraan, sehingga setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan sebaliknya secara bebas terlibat dalam mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Dalam perspektif demokrasi kosmopolitan, budaya merupakan sumberdaya yang perlu menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan. 

Pada praktiknya, model demokrasi kosmopolitan menganut sejumlah prinsip yang dapat diadopsi dalam perumusan kebijakan. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
  1. Kapasitas untuk menentukan pilihan secara mandiri. Prinsip ini mengakui bahwa semua kelompok masyarakat (termasuk juga kelompok etnik) memiliki kapasitas untuk menentukan pilihan secara mandiri. Prinsip ini mengharuskan adanya komitmen terhadap otonomi dan pengakuan hak-hak dan kewajiban untuk menegakan hukum sebagai aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  2. Adopsi terhadap prinsip-prinsip dan aturan main berdasarkan hukum yang berlaku. Hukum menjadi mekanisme untuk membatasi bentuk dan ruang lingkup tindakan individual maupun kolektif dalam berbagai institusi, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun civil society. Untuk menjamin penegakan hukum, maka sejumlah standar pun ditetapkan agar ada kesetaraan bagi semua anggota masyarakat, sehingga jalan kekerasan untuk mencapai tujuan tidak dibenarkan.
  3. Perumusan peraturan dan penegakan hukum. Prinsip ini berlaku bagi setiap level institusi dan seluruh anggota masyarakat, sehingga bersifat non diskriminatif. Prinsip ini juga berlaku sebagai bentuk pengawasan dan pengendalian terhadap berbagai praktik penggunaan kekuasaan dan otoritas lembaga pemerintahan.
  4. Prioritas kolektif. Prinsip ini mendasari perumusan kebijakan agar setiap kebijakan yang dihasilkan dilandaskan pada skala prioritas yang mengacu pada kepentingan publik, yakni kepentingan sebagian besar kelompok masyarakat (bukan hanya kepentingan kelompok mayoritas). Penyusunan skala prioritas dalam agenda setting kebijakan publik perlu memperhatikan komitmen terhadap otonomi demokrasi sebagai landasan bagi keberlangsungan demokratisasi.
  5. Prinsip keadilan sosial. Prinsip mendasari pembuatan kebijakan sebagai mekanisme untuk menjamin distribusi sumberdaya-sumberdaya secara adil, menghindarkan eksploitasi sumberdaya untuk kepentingan sesaat atau kepentingan segelintir orang.
  6. Prinsip relasi non koersif. Demokrasi kosmopolitan menekankan penyelesaian konflik melalui manajemen konflik dan mekanisme resolusi yang berbasis governance, dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Penggunaan paksaan hanya diperkenankan setelah seluruh mekanisme negosiasi tidak dapat dilakukan lagi. Namun, kekuasaan ini pun tetap diterapkan oleh institusi yang memiliki kewenangan legal untuk melakukan paksaan dan menjatuhkan sanksi.
  7. Keanggotaan lintas budaya. Melalui prinsip ini, demokrasi kosmopolitan memberikan peluang bagi setiap anggota masyarakat yang berbeda-beda dapat saling berinteraksi bahkan dapat menjadi anggota dari berbagai organisasi yang beragam, tanpa memandang asal etnisitas, ras, agama, atau ideologinya. Keanggotaan organisasi kemasyarakatan bersifat terbuka, sehingga dapat memperluas akses partisipasi publik.
Ketujuh prinsip tersebut menegaskan bahwa multikulturalisme dan demokrasi menjadi dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dalam merumuskan suatu desain kebijakan publik yang mengakui kesederajatan berbagai budaya. Demokrasi tidak mungkin hidup dalam sebuah masyarakat bila demokrasi tidak diserap ke dalam dan menjadi kebudayaan serta pranata-pranata sosial dari masyarakat tersebut. Begitu pula halnya demokrasi tidak mungkin hidup bila tidak didukung nilai-nilai budaya yang merupakan patokan bagi pedoman etika dan moral, baik secara sosial, legal, ekonomi dan politik yang berlaku pada tingkat individual maupun pada tingkat kemasyarakatan[1]

Prinsip demokrasi hanya mungkin dapat berkembang dan hidup secara mantap dalam sebuah masyarakat sipil yang terbuka, yaitu yang warganya mempunyai toleransi terhadap perbedan-perbedaan dalam bentuk apa pun. Adanya kesetaraan dalam derajat kemanusiaan yang saling menghormati, yang diatur oleh hukum yang berkeadilan dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya. Di antara prinsip-prinsip mendasar dari demokrasi adalah kesetaraan derajat individu dengan meniadakan hierarki sosial berdasarkan atas rasial, suku bangsa, kebangsaan, ataupun kekayaan dan kekuasaan. Kemudian adanya kebebasan (freedom), individualisme dan individualitas, toleransi terhadap perbedaan-perbedaan, konflik-konflik, dan adanya konsensus dalam proses politik; hukum yang adil dan beradab, dan prikemanusiaan. 

Sebagai sebuah ide, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia. Berbagai kegiatan dalam cakupan kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan pilitik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan. Karenanya, multikulturalisme dapat menjadi suatu strategi dari integrasi sosial di mana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati, sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam mengantisipasi setiap isu yang mengarah pada konflik sosial, separatisme, dan disintegrasi sosial. 

____________________
1. Suparlan, op.cit., hal. 7.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.